Laporan Praktikum SISMIK

  1. I.                   PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

 

Mikroorganisme atau  mikroba merupakan suatu organisme yang berukuran sangat kecil dan tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantu seperti mikroskop. Mikroorganisme memiliki cakupan yang sangat luas dan terdiri dari berbagai macam kelompok dan jenis, sehingga diperlukan suatu usaha atau cara pengelompokan dan pengklasifikasian (Sembiring, 2003). Bakteri adalah dominan yang terdiri dari makhluk hidup yang tidak memiliki membran plasma (prokariot).

Sistematika mikroba merupakan ilmu yang mempelajari keanekaragaman mikroba dan hubungan antara sesamanya, baik hubungan yang bersifat kemiripan (fenetik) maupun yang bersifat kekerabatan (filogenetis). Cakupan kajian dalam sistematika meliputi klasifikasi, tata nama, dan identifikasi. Klasifikasi merupakan suatu alat atau cara untuk mengelompokkan organisme ke dalam suatu kelompok (takson) berdasarkan hubungan kemiripan maupun kekerabatan. Identifikasi adalah proses dan hasil penentuan benar tidaknya suatu strain yang diteliti merupakan anggota takson yang sudah dikenal sebelumnya atau merupakan proses dan hasil penentuan apakah suatu organisme yang belum dikenal merupakan anggota kelompok yang sudah diketahui sebelumnya atau bukan. Identifikasi merupakan aplikasi dari klasifikasi dan tatanama terhadap strain sampel. Sedangkan tatanama adalah cara pemberian nama ilmiah kepada makhluk hidup berdasarkan kode tatanama. Untuk dapat mengidentifikasi dan mengkasifikasi suatu mikroorganisme, maka kita harus mempelajari karakteristik mikroorganisme tersebut terlebih dahulu (pelczar et al., 1993).

Prosedur dalam melakukan identifikasi, yaitu pertama kita harus menentukan apakah suatu organisme yang belum dikenal termasuk dalam kelompok besar dari suatu mikroorganisme atau tidak; kedua yang harus dilakukan adalah memurnikan kultur dari mikroorganisme tersebut; ketiga yaitu menentukan tipe pertumbuhan dari organisme tersebut; keempat adalah mempelajari kultur murni tersebut (Frobisher, 1962).

Terdapat tiga cara klasifikasi yaitu klasifikasi artifisial, klasifikasi fenetik, dan klasifikasi filogenik. Salah satu penerapan klasifikasi fenetik adalah pada taksonomi numerik (numerical taxonomy) (Boone and Castenholz, 2001). Taksonomi numerik digunakan untuk memperoleh suatu klasifikasi yang bersifat lebih teliti, reproducible, dan padat informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa taksonomi numerik merupakan cara sistem klasifikasi terbaik. Sebab dalam sistem taksonomi ini digunakan sebanyak-banyaknya sifat (minimal 50 sifat) dari setiap organisme yang akan dikelompokkan. Taksonomi numerik merupakan suatu kajian kekerabatan taxa dengan mengaplikasikan nilai similaritas setiap karakter sehingga dapat dibuat tingkat kataegori berdasarkan derajat atau indeks similaritas. Sebanyak-banyaknya sifat (minimal 50 sifat) dari organisme yang akan dikelompokkan kemudian dicari indeks similaritas (IS) dari satu organisme terhadap organisme lain dalam daftar organisme yang akan dikelompokkan (disebut OTUs). Dalam pengklasifikasian suatu bakteri digunakan beberapa kriteria yaitu karakter morfologi yang meliputi ukuran, bentuk, sifat pengecatan dan lain-lain. Karakter kultur dan koloni meliputi bentuk koloni, elevasi, dan warna. Karakteristik biokimia meliputi fermentasi, hidrolisis, reduksi dan produksi enzim spesifik. Karakter fisiologi meliputi range suhu pertumbuhan, pH, dan lain-lain (Sulia and Shantharam, 1998).

Oleh sebab itu, kami melakukan praktikum sistematika mikroba tentang taksonomi numerik-fenetik untuk mengklasifikasi bakteri. 

 

1.2. Tujuan

Memperkenalkan prosedur taksonomi numerik-fenetik dalam klasifikasi bakteri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. II.                TINJAUAN PUSTAKA

Sistem klasifi tiga domain yan dikembangkan oleh Carl Woese (1990) yaitu penggolongan makhluk hidup, domain Archaea, Bacteria, dan Eucaryota. Dua domain dari ketiga golongan tersebut, Archaea dan Bacteria dipelajari dalam sistematika mikroba. Taksonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan dan penyusunan organisme dalam satu golongan yang disebut taxa. Hal inin dilakkukan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu sebagai pembeda yang digunakan dalam penggolongan organisme. Dalam taksonomi organisme terdiri dari tiga bagian, yaitu nomenklatur, klasifikasi, dan identifikasi. Nemenklatur adalah kegiatan pemberian nama, sedangkan identifikasi berarti penetapan organisme menggunakan kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam klasifikasi. Klasifikasi adalah tahap pengelompokkan suatu mikrobia berdasarkan sifat-sifat beda (Nicklin, et.al., 1999). Sistematika mikroba memiliki cara khusus untuk memetakan keanekaragaman spesies makhluk mikrobia dalam hal klasifikasi.

Sistematika mikrobia merupakan ilmu yang mempelajari keanekaragaman mikrobia dan hubungan antar sesamanya, baik hubungan yang bersifat kemiripan (fenetik) maupun yang bersifat kekerabatan (filogenetis). Cakakupan kajian dalam sistematika meliputi klasifikasi, tata nama, dan identifikasi. Klasifikasi merupakan suatu alat untuk mengelompokkan organisme ke dalam suatu kelompok atau takson berdasarkan hubungan kemiripan ataupun kekerabatan.  Identifikasi adalah proses dan hasil penentuan apakah suatu organisme yang belum dikenal merupakan anggota kelompok yang sudah diketahui sebelumnya atau bukan. Sedangkan tata nama merupakan cara pemberian nama ilmiah kepada makhluk hidup berdasarkan kode tata nama. Untuk dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi mikroorganisme, pertama-tama kita harus memperlajari karakteristik mikroorganisme tersebut (Pelczar et al., 1993).

Taksonomi merupakan suatu langkah dalam pengelompokkan jasad hidup di dalam suatu kelompok atau takson yang sesuai. Pada awalnya pengelompokkan ini hanya dilakukan dalam lingkungan tumbuh-tumbuhan dan hewan, namun terbyata bahwa untuk mikrobapun dapat digunakan. Dari segi mikrobiologi sendiri, dunia mikroba terbagi menjadi dua kelompok besar, dimana pembagian ini berdasarkan kepada ada tidaknya inti, baik yang sudah terdiferensiasi ataupun yang belum, yaitu penyusunan urutan DNA telah menjadi prosedur rutin di laboratorium dan perbandingan susunan DNA diantara beragam gen yang mada dapat menggambarkan hubungan perbedaan susunan DNA diantara gen-gen yang tersebar secara cepat, sehingga dapat digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan masing-msing individu (Ramadaningrum, 2008).

Prosedur dalam identifikasi, yaitu pertama-tama kita harus menentukan apakah suatu organisme yang belum dikenal termasuk dalam kelompok besar dari mikroorganisme atau tidak; kedua yang harus dilakukan adalah memurnikan kultur dari mikroorganisme tersebut; ketiga adalah menentukan tipe pertumbuhan dari organisme tersebut; keempat adalah mempelajari kultur murni tersebut (Frobisher, 1962). Dalam klasifikasi mikrobia terdapat tiga macam cara yaitu klasifikasi artificial, klasifikasi fenetik, dan klasifikasi filogenik. Contoh penerapan klasifikasi fenetik adalah pada taksonomi numeric (numerical taxonomy) (Boone and Castenholz, 2001).

Taksonomi numeric merupakan suatu kajian kekerabatan taxa dengan mengaplikasikan nilai similaritas setiap karakter sehingga terdapat tingkatan kategori berdasarkan indeks similaritas. Sistem taksonomi ini digunakan sebanyak-banyaknya sifat (minimal 50 sifat) kemudian dicari indeks similaritas (IS) dari mikroba yang akan dikelompokkan (disebut OTUs). Ada dua macam Koefisien Asosisi yaitu Simple Matching Coefisient (SSM) dan Jaccard Coeficient (SJ). Pada SSM semua sifat yang ada dilihat dan digunakan. Sedangakan pada SJ tidak memperhatikan sifat yang sama-sama tidak dimiliki (negative). Kemudian dari matriks IS tersebut, akan diperoleh dendogram. Metode yang umum dalam pembuatan dendogram adalah sverage linkage clustering (UPGMA : unwieghted pair-group method using arithmetic averages) yaitu suatu metode pengklasteran akan menggabung ke klaster tertentu pada suatu nilai yang dihitung tersendiri, yaitu rerata nilai-nilai IS (anonim, 2011).

Adapun dalam pengklasifikasian bakteri, kriteria yang digunakan antara lain adalah karakter morfologi yang meliputi ukuran, bentuk, sifat pengecatan dan lain-lain. Karakter kultur dan karakter koloni meliputi bentuk koloni, elevasi, translucency, dan warna. Karakteristik biokimia meliputi fermentasi, hidrolisis, produksi indol, reduksi dan produksi enzim spesifik. Karakter fisiologi meliputi range suhu, pH dan lain-lain (Sulia and Shantharam, 1998).   

  1. III.             METODE

 

3.1. Alat dan Bahan

  1. Morfologi Koloni Bakteri
    1. a.      Morfologi Koloni Bakteri pada Cawan Petri

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya berbentuk bulat, lampu spiritus, rak tabung reaksi, tabung reaksi, cawan petri dan cawan penutup (petri disc).

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, medium nutrient plate agar, dan alkohol.

  1. b.      Morfologi Koloni Bakteri pada Agar Tegak

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya berbentuk bulat, lampu spiritus, rak tabung reaksi, dan tabung reaksi.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, medium nutrient agar tegak, dan alkohol.

  1. c.       Morfologi Koloni Bakteri pada Agar Miring

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya membulat, lampu spiritus, rak tabung reaksi dan tabung reaksi.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, medium nutrient agar miring, dan alkohol

  1. d.      Morfologi Koloni Bakteri pada Medium Cair

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya membulant, lampu spiritus, rak tabung reaksi dan tabung reaksi.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, medium nutrient cair, dan alkohol.

 

 

  1. Morfologi Sel
    1. a.      Pewarnaan Sederhana

Alat yang digunakan adalah glass objek, jarum ose yang ujungnya membulat, mikroskop, tissue, lampu spiritus, dan pipet tetes.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, methylen blue, alkohol, dan akuades.

  1. b.      Pewarnaan Gram

Alat yang digunakan adalah glass objek, jarum ose yang ujungnya membulat, lampu spiritus, pipet tetes, dan mikroskop.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, Kristal violet, lugol’s iodine, alkohol, counterstain safranin, dan akuades.

  1. c.       Pewarnaan Spora

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya membulat, glass objek, lampu spiritus, tabung reaksi, pipet tetes, kompor listrik, gelas kimia, kawat kasa, dan mikroskop.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, malchite green, alkohol, safranin, dan akuades.

  1. d.      Pewarnaan Tahan Asam

Alat yang digunakan adalah kaca objek, jarum ose yang ujungnya membulat, lampu spiritus, pipet tetes, kompor listrik, gelas kimia, kawat kasa, mikroskop dan tissue.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, alkohol, karbolfuksin, alkohol asam, methylen blue, dan akuades.

 

  1. Pengujian Sifat Biokimiawi
    1. a.      Hidrolisis Pati

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya membulat, rak tabung reaksi, tabung reaksi, lampu spiritus, dan pipet tetes.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, medium pati agar plate, larutan JKJ, dan alkohol.

  1. b.      Hidrolisis Kasein

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya membulat, tabung reaksi, lampu spiritus, dan rak tabung reaksi.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, medium susu agar dalam petridish, dan alkohol.

 

  1. c.       Pencairan Gelatin

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya membulat, rak tabung reaksi, tabung reaksi, dan lampu spiritus.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, medium gelatin tegak, alkohol.

  1. d.      Reduksi Hidrogen Peroksida (Katalase)

Alat yang digunakan adalah glass objek, jarum ose yang ujungnya membulat, lampu spiritus, spidol, dan pipet tetes.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, larutan H2O2 30 %, dan alkohol.

  1. e.       Reduksi Methylen Blue

Alat yang digunakan adalah jarum ose dengan ujung membulat, tissue, spidol, pipet tetes, lampu spiritus, tabung reaksi, dan rak tabung reaksi.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, larutan methylen blue, medium nutrient cair, dan alkohol. 

  1. f.       Oksidase

Alat yang digunakan adalah jarum ose dengan ujung membulat, tissue, pipet tetes, spidol, dan lampu spiritus.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, larutan dimetil p-fenildiamina hidroklorida 1 %, dan alkohol.

 

  1. D.    Fermentasi Karbohidrat

Alat yang digunakan adalah jarum ose dangan ujung membulat, tabung reaksi, rak tabung reaksi, tabung durham dan lampu spiritus.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain bakteri, medium glukos cair, laktosa cair, sukrosa cair dan indicator phenol red (dalam tabung durham).

 

3.2. Cara Kerja

  1. Morfologi Koloni Bakteri
    1. Morfologi Koloni Bakteri pada Cawan Petri
    2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja dibersihkan/disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
    3. Diambil isolat A dengan menggunakan jarum ose yang telah diberi alkohol dan dibakar, secara aseptis.
    4. Isolat yang diperoleh lalu ditotolkan ke dalam cawan petri yang telah berisi medium nutrient agar secara aseptis.
    5. Diinkubasi selama 24 jam dengan posisi cawan dibalik.
    6. Diamati morfologi koloni bakteri yang terbentuk.
    7. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Morfologi Koloni Bakteri pada Agar Tegak
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Diambil isolat A dengan menggunakan jarum ose secara aseptis.
  4. Ditusukkan (secara garis lurus) ke dalam medium nutrient agar tegak secara aseptis.
  5. Diinkubasi selama 24 jam.
  6. Diamati pertumbuhan koloni bakteri yang terbentuk.
  7. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Morfologi Koloni Bakteri pada Agar Miring
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Diambil isolat A dengan menggunakan ose secara aseptis.
  4. Diinokulasikan ke medium nutrient agar miring secara garis lurus secara aseptis.
  5. Diinkubasi selama 24 jam.
  6. Diamati pertumbuhan koloni bakteri yang terbentuk.
  7. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Morfologi Koloni Bakteri padi Medium Cair
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan dengan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Diambil isolat A dengan menggunakan ose secara aseptis.
  4. Diinokulasikan ke dalam medium nutrient cair dengan cara mengaduk-adukkan ose di dalam medium cair secara aseptis.
  5. Diinkubasi selama 24 jam.
  6. Diamati pertumbuhan koloni bakteri yang terbentuk.
  7. Dilakukan langkah yang sama untuk isolate B – E.

 

  1. Morfologi Sel
    1. Pewarnaan Sederhana
    2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
    3. Dibersihkan glass objek dengan menggunakan alkhol dan difiksasi di atas nyala api lampu spiritus. Diberi tanda lingkaran pada bagian bawahnya menggunakan spidol untuk meletakkan isolat bakteri.
    4. Diambil isolat A dengan menggunakan ose secara aseptis.
    5. Isolat yang diperoleh diletakkan pada lingkaran yang telah dibuat, kemudian difiksasi di atas nyala api lampu spiritus.
    6. Ditetesi dengan 1 tetes methylen blue, didiamkan selama 5 menit.
    7. Dibilas dengan menggunakan akuades mengalir, kemudian dikeringanginkan.
    8. Diamati di bawah mikroskop.
    9. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Pewarnaan Gram
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Dibersihkan glass objek dengan menggunakan alkohol dan difiksasi di atas nyala api lampu spiritus. Diberi tanda lingkaran pada bagian bawahnya menggunakan spidol untuk meletakkan isolat bakteri.
  4. Diambil isolat A menggunakan ose, kemudian diletakkan di atas glass objek pada lingkaran yang telah dibuat secara aseptis, lalu difiksasi.
  5. Ditetesksan 1 tetes Kristal violet pada lingkaran tersebut, didiamkan selama 1 menit. Lalu dicuci dengan akuades mengalir dan dikeringanginkan.
  6. Diteteskan iodine pada bagian yang sama, didiamkan selama ± 1 menit. Lalu dicuci dengan akuades mengalir dan dikeringanginkan.
  7. Diberi alkohol pada bagian yang sama, didiamkan selama 30 detik. Lalu dicuci dengan akuades mengalir dan dikeringanginkan.
  8. Diteteskan counterstain safranin, didiamkan selama ± 45 detik. Lalu dibilas dengan akuades mengalir dan dikeringanginkan.
  9. Diamati di bawah mikroskop bentuk sel, bakteri gram + atau gram -, dan warna sel bakteri.
  10. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Pewarnaan Spora
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan menggunakan alkohol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Dibersihkan glass objek menggunakan alkohol dan dikeringkan.
  4. Diambil isolat A dengan menggunakan ose secara aseptis.
  5. Isolat yang diperoleh diletakkan pada glass objek juga secara aseptis.
  6. Ditetesi 1 tetes Malachite green ke glass objek yang telah terdapat isolate tersebut.
  7. Diletakkan di atas penangas air yang mendidih dan didiamkan selama 5 menit. Jika bagian pinggir mulai mengering, ditambahkan lagi malachite green.
  8. Setelah 5 menit diangkat, setelah dingin glass objek dibilas dengan akuades mengalir.
  9. Ditetesi dengan safranin sebagai counterstain, didiamkan selama ± 45 detik. Kemudian dicuci dengan akuades mengalir dan dikeringanginkan.
  10. Diamati di bawah mikroskop adakah terbentuk spora atau tidak.
  11. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Pewarnaan Tahan Asam
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan dengan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Disterilkan glass objek menggunakan alkohol dan dikeringkan.
  4. Diambil isolat A dengan menggunakan ose dan diletakkan pada glass objek secara aseptis.
  5. Diteteskan dengan 1 tetes karbolfuksin dan diletakkan di atas penangas air mendidih selama 5 menit. Setelah 5 menit diangkat, kemudian setelah dingin dicuci dengan menggunakan akuades mengalir dan dikeringanginkan.
  6. Diteteskan dengan 1 tetes alkohol asam, didiamkan selama 15 detik, lalu dicuci dengan akuades mengalir dan dikeringanginkan.
  7. Diteteskan dengan 1 tetes methylen blue 1 tetes, didiamkan selama 2 menit. Dicuci dengan akuades mengalir dan dikeringanginkan.
  8. Diamati di bawah mikroskop, jika berwana merah maka hasilnya positif dan jika berwarna biru maka hasilnya negatif.
  9. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Pengujian Sifat Biokimawi
    1. Hidrolisis Pati
    2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
    3. Diambil isolat A dengan menggunakan ose secara aseptis.
    4. Isolat yang telah diperoleh ditotolkan pada medium pati agar plate secara aseptis.
    5. Diinkubasi selama 24 jam.
    6. Diberi larutan JKJ beberapa tetes, didiamkan selama beberapa menit.
    7. Diamati, jika terdapat zona bening berarti positif menghidrolisis pati, jika tidak ada zona bening berarti negative.
    8. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Hidrolisi Kasein
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Diambil isolat A dengan menggunakan ose secara aseptis.
  4. Isolat yang diperoleh lalu ditotolkan pada medium susu agar secara aseptis.
  5. Diinkubasi selama 4 hari.
  6. Diamati, adanya zona bening menunjukkan hasil positif terhadap hidrolisis kasein.
  7. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Pencairan Gelatin
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan dengan mengguankan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Diambil isolat A menggunakan ose secara aseptis.
  4. Diinokulasikan isolat A tersebut ke dalam medium gelatin tegak (cair) menggunakan ose dengan cara diaduk-aduk secara aseptis.
  5. Diinkubasi di dalam kulkas selama 24 jam.
  6. Diamati, jika medium tidak memadat maka hasilnya positif untuk pencairan gelatin.
  7. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Reduksi Hidrogen Peroksida (Katalase)
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Glass objek dibersihkan menggunakan alkohol dan dikeringkan. Diberi tanda lingkaran pada bagian bawahnya.
  4. Diambil isolat A menggunakan ose secara aseptis.
  5. Diletakkan isolat A yang diperoleh tersebut pada bagian yang dilingkari pada glass objek secara aseptis.
  6. Ditambahkan satu tetes larutan H2O2 30 %. Didiamkan beberapa saat.
  7. Diamati apakah reaksinya positif atau negative. Reaksi positif ditunjukkan denga adanya gelembung dan negatif jika tidak terbentuk gelembung.
  8. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Reduksi Methylen blue
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja dibersihkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Diambil isolat A dengan menggunakan ose secara aseptis.
  4. Dimasukkan kedalam medium nutrient cair (NB) secara aseptis.
  5. Diinkubasi selama 24 jam.
  6. Setelah 24 jam, ditambahkan methylen blue.
  7. Diamati perubahan warna biru menjadi hilang. Dicatat berapa lama waktu yang diperlukan untuk perubahan warna tersebut.
  8. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Oksidase
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja dibersihkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Dilingkari ketas tisu menggunakan spidol.
  4. Diambil isolat A dengan menggunakan ose secara aseptis.
  5. Diletakkan isolat A tersebut pada bagian yang telah dilingkari pada kertas tisu secara aseptis.
  6. Ditambahkan larutan dimetil p-fenildiamina hidroklorida 1 % beberapa tetes.
  7. Didiamkan beberapa menit.
  8. Diamati apakah ada perubahan warna merah muda, lalu merah tua, merah galap dan akhirnya menjadi hitam maka hasilnya positif serta hasil negatif jika tidak terjadi perubahan warna.
  9. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.

 

  1. Fermentasi Karbohidrat
  2. Dipersiapkan alat dan bahan serta area kerja dibersihkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
  3. Diambil isolat A menggunakan ose secara aseptis.
  4. Diinokulasikan ke dalam masing-masing larutan glukosa, sukrosa dan laktosa dengan cara diaduk-aduk (di dalamnya telah berisi indicator phenol red dalam tabung durham) secara aseptis.
  5. Diinkubasi selama 24 jam.
  6. Diamati perubahan yang terjadi.
  7. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.
    1. IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN

 

4.1. Hasil

 

Tabel 1. Tabulasi Hasil Pengamatan Uji Bakteri Kelompok 6B – 10B

(Lab. Genetika)

No

Unit Karakter (n)

Operational Taxonomi Unit OTU (t)

A

B

C

D

E

1

Morfologi Koloni

 

 

 

 

 

 

a. Ukuran koloni

 

 

 

 

 

 

1. large

+

 

2. moderate

+

 

3. small

+

+

 

b. Bentuk koloni

 

 

 

 

 

 

4. cirkular

+

 

5. irreguler

+

+

 

6. spindle

 

7. filamentous

 

8. rhizoid

+

 

c. elevasi koloni

 

 

 

 

 

 

9. flat

+

+

 

10. raised

+

+

 

11. convex

 

12. umbonate

 

d. Tepian koloni

 

 

 

 

 

 

13. entire

+

 

14. lobate

+

+

 

15. undulate

+

 

16. serrate

 

17. felamentous

 

e. Warna koloni

 

 

 

 

 

 

18. kuning

+

 

19. putih

+

 

20. cream

+

+

 

Faktor pertumbuhan

 

 

 

 

 

 

Agar Tegak

 

 

 

 

 

 

f. Bentuk pertumbuhan

 

 

 

 

 

 

21. filliform

+

+

 

22. echinulate

 

23. papilliate

 

24. beaded

 

25. vilous

 

26. plumose

+

+

 

27. arborescent

 

g. Pertumbuhan

 

 

 

 

 

 

28. merata

+

+

 

29. tidak merata

+

+

 

Agar Miring

 

 

 

 

 

 

h. Bentuk pertumbuhan

 

 

 

 

 

 

30. echinulate

 

31. filliform

+

+

 

32. effuse

 

33. beaded

+

 

34. spreading

 

35. plumose

 

36. rhizoid

 

i. Pertumbuhan

 

 

 

 

 

 

37. tipis

 

38. sedang

+

+

 

39. tebal/lebat

+

 

j. Kilat

 

 

 

 

 

 

40. mengkilat

+

+

+

 

41. tidak mengkilat

 

42. Medium Cair

+

+

+

+

+

2

Morfologi Sel

 

 

 

 

 

 

a. Pewarnaan sederhana

 

 

 

 

 

 

43. coccus

 

44. basillus

+

+

+

+

+

 

45. staphillococcus

 

46. streptococcus

 

47. streptobasil

 

b. Pewarnaan gram

 

 

 

 

 

 

48. gram positif

+

+

 

49. gram negatif

+

+

+

 

50. Pewarnaan Endospora

+

 

d. Pewarnaan tahan asam

 

 

 

 

 

 

51. biru

+

+

+

+

+

 

52. merah

3

Analisis Biokimia

 

 

 

 

 

 

53. hidrolisis pati

 

54. hidrolisis kasein

+

 

55. katalase

+

+

+

+

 

56. oksidase

+

 

57. pencairan gelatin

 

58. reduksi methylen blue

+

+

+

+

+

 

Fermentai Karbohidrat

 

 

 

 

 

 

Glukosa

 

 

 

 

 

 

59. warna

+

+

+

+

+

 

60. gelembung gas

+

 

Sukrosa

 

 

 

 

 

 

61. warna

 

62. gelembung gas

 

Laktosa

 

 

 

 

 

 

63. warna

 

64. gelembung gas

 

AB : a = 11, b = 6, c = 7, d = 40                                                BC : a = 9, b = 9, c = 6, d = 40

AC : a = 7, b = 10, c = 8, d = 39                                                BD : a = 9, b = 9, c = 8, d = 38

AD : a = 10, b = 7, c = 7, d = 40                                                BE : a = 5, b = 13, c = 3, d = 43

AE : a = 5, b = 12, c = 3, d = 44                                                CD : a = 8, b = 7, c = 9, d = 40

CE : a = 5, b = 10, c = 2, d = 40                                                DE : a = 6, b = 11, c = 2, d = 40

Berdasarkan tabel di atas, kemudian dicari indeks similaritasnya berdasarkan rumus berikut:

  1. SSM =

Keterangan: a = ++ ; b = +- ; c = -+ dan d = —

 

AB =  = 79,7 %                               CD =  = 75 %

AC =  = 71%                                   CE =  = 79,7 %

AD =  = 78,1 %                               DE =  = 79,7 %

AE =  = 76,5 %                               BC =  = 76,6 %

BD =  = 73,4 %                               BE =  = 75 %

 

 

Matriks Similaritas SSM

%

A

B

C

D

E

A

100

 

 

 

 

B

79,7

100

 

 

 

C

71

76,6

100

 

 

D

78,1

73,4

75

100

 

E

76,5

75

79,7

79,7

100

 

 

Clustering Analysis SSM

Sim (%)

Strain Mikroba (OTU)

100

A

B

C

D

E

90

A

B

C

D

E

79,7

{A, B, C, D, E}

 

Konstruksi Dendogram SSM

 

                                                                                                                                    A

                                                                                                                                    B

                                                                                                                                    C

                                                                                                                                    D

                                                                                                                                    E

 

                                                            79,7                              90                               100

 

 

 

 

  1. SJ =

 

Keterangan : a = ++ ; b = +- dan c = -+

 

AB =  = 45,8 %                               CD =  = 33,3 %

AC =  = 28 %                                  CE =  = 27,8 %           

AD =  = 41,7 %                               DE =  = 31,6 %

AE =  = 25 %                                  BC =  = 37,5 %

BD =  = 34,6 %                               BE =  = 23,8 %

 

Matriks Similaritas SJ

%

A

B

C

D

E

A

100

 

 

 

 

B

45,8

100

 

 

 

C

28

37,5

100

 

 

D

41,7

34,6

33,3

100

 

E

25

23,8

27,8

31,6

100

 

 

Clustering Analysis SJ

Sim (%)

Strain Mikroba (OTU)

100

A

B

D

C

E

90

A

B

D

C

E

45,8

A, B

D

C

E

38,15

{(A, B) D}

C

E

33,3

( {(A, B) (D)} C )

E

 27,8

{ [ {(A, B) (D)} C ] E }

Konstruksi Dendogram SJ

 

                                                                                                                                                A

                                                                                                                                                B

                                                                                                                                                D

                                                                                                                                                C

                                                                                                                        E

 

 

27,8                 33,3                 38,15              45,8                 100

 

 

 

4.2. Pembahasan

Pada praktikum kali ini, dilakukan karakterisasi dan identifikasi terhadap lima strain mikroba yaitu A, B, C, D dan E yang belum diketahui, dengan menggunakan berbagai karakter uji yang meliputi sifat morfologi, baik koloni maupun sel, dan pengujian sifat biokimia. Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk numerik dengan memberikan nilai positif atau negative. Dalam prosedur taksonomi numerik, hanya data numerik yang dapat diolah untuk memperoleh hasil klasifikasi yang diharapkan.

Pada pengujian morfologi pada pewarnaan tahan asam, semua isolat menunjukkan hasil negatif dengan sel berwarna biru, karena bakteri tersebut tidak tahan terhadap asam karbolfuksin melalui proses pemanasan, dan menyerap zat warna methylen blue. Pada pewarnaan spora isolat A, B, C dan D menghasilkan pewarnaan spora negative dan pada isolat E menghasilkan pewarnaan positif.

Untuk uji biokimia yaitu pada uji oksidase yang menghasilkan uji positif adalah isolate C yang berubah warna menjadi merah muda, lalu merah tua, merah gelap, dan akhirnya hitam. Hal ini terjadi karena isolat C mampu mengoksidasi larutan dimetil p-fenildiamina hidroklorida 1 %, sedangkan isolat A, B, D, dan E bereaksi negative atau tidak mampu mengoksidasi larutan dimeil p-fenildiamina hidroklorida 1 %, dan warna isolatnya tetap berwarna putih.

Pada uji hidrolisis pati semua isolat menunjukkan hasil negative terhadap hidrolisis pati dengan ditandai tidak adanya zona jernih disekitar koloni. Pada uji reduksi Methylen blue, semua isolate bereaksi positif terhadap reduksi methylen blue ditandai dengan hilangnya warna biru pada kultur cair, waktu menghilangnya warna biru selama ± 30 menit. Pada uji pencairan gelatin, semua isolat tidak mampu mencairkan gelatin (memadat), hal ini dapat terjadi karena semua isolat tidak memiliki enzim gelatinase sehingga tidak dapat mencerna medium gelatin. Karena untuk dapat mencerna gelatin, bakteri membutuhkan enzim gelatinase. Gelatin protein merupakan polimer besar asam amino yang terlalu besar untuk masuk ke dalam membran sel. Untuk memanfaatkan gelatin, exozim proteolitik bakteri mensekresi gelatinase dan peptidase untuk mencerna gelatin luar sel.

Uji katalase digunakan untuk mengetahui aktivitas katalase pada bakteri yang diuji. Isolat A, B, C, dan D dalam uji katalase hasilnya positif, karena bakteri memproduksi enzim katalase yang dapat memecah H2O2 menjadi H2O dan O2. Enzim katalase diduga penting untuk pertumbuhan aerobic karena H2O2 yang dibentuk dengan pertolongan berbagai enzim pernafasan bersifat racun terhadap sel mikroba. Keempat isolat ini adalah bakteri katalase positif bias menghasilkan gelembung-gelembung oksigen yang sedikit karena adanya pemecahan H2O2 (hydrogen peroksida) oleh enzim katalase yang dihasilkan oleh bakteri itu sendir. Komponen H2O2 ini merupakan salah satu hasil respirasi fakultatif anaerob bakteri, dimana hasil respirasi tersebut justru dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena bersifat toksik bagi bakteri itu sendiri.  Oleh sebab itu, komponen ini harus dipecah agar tidak bersifat toksik lagi. Sedangkan isolate E menunjukkan hasil negatif.

Jumlah unit karakter yang kami peroleh dan digunakan adalah sebanyak 64 karakter. Jumlah karakter ini telah memenuhi karekter uji minimal yang disyaratkan yaitu  sejumlah 50 karakter. Semakin tinggi nilai similaritas antara kedua strain, maka dapat dikatakan bahwa kedua strain tersebut memiliki banyak kemiripan atau kesamaan, sehingga nilai indeks similaritas antara kedua strain dapat digunakan untuk memasukkan bakteri ke dalam suatu kelompok tertentu. Berdasarkan konsep taksospesies, suatu individu termasuk ke dalam jenis spesies yang sama apabila memiliki indeks similaritas ≥ 70%.

Data yang diperoleh dari karakterisasi tersebut dianalisi lebih lanjut untuk mencari Indeks Similaritas (IS) antara kelima strain mikroba tersebut. Digunakan dua macam koefisien indeks similaritas yaitu Simple Matching Coeficient (SSM) dan Jaccard Coeficient (SJ). Pada SSM semua sifat baik bernilai double positif, berbeda, maupun double negative digunakan. Sedangkan pada SJ nilai double negative pada kedua strain yang dibandingkan tidak digunakan.

Setelah didapatkan indeks similaritas melalui SSM dan SJ, kemudian dilakukan analisis clustering. Prinsip dari analisis klastering adalah untuk mencari similaritas dengan nilai tinggi yang mengindikasikan pasangan yang paling sama dari OTU  (Operational Taxonomic Unit). Metode yang paling umum digunakan adalah Unwighted Pair Group Method With Averages (UPGMA) atau yang lebih dikenal dengan nama alogaritma average linkage. Untuk menunjukkan hasil analisis klastering, hasil divisualisasikan ke dalam bentuk dendogram. Setelah diperoleh dendogram, kemudian dibuat analisis korelasi kefenetik. Analisis ini bertujuan untuk menunjukkan keeratan hubungan kesamaan (fenetik) antar strain mikroba yang diuji. Nilai korelasi kofenetik baik pada SSM dan SJ yang melebihi 60 % menunjukkan bahwa uji yang dilakukan terhadap keenam strain bakteri tersebut dapat diterima atau dipercaya, sehingga kelompok yang dibentuk memiliki kedekatan yang dapat diterima.

Dari hasil dendorgam yang kami peroleh terlihat bahwa terdapat perbedaan dalam klasifikasi OTU antara koefisien SSM dan SJ. Pada dendogram SSM strain A, B, C, D, dan E mengelompok menjadi satu pada indeks similaritas 79,7 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelima strain bakteri yang diuji memiliki tingkat similaritas yang cukup tinggi. Bahkan dapat dikatakan bahwa kelima strain bakteri tersebut masuk ke dalam satu spesies, karena tingkat kesamaannya lebih dari 70 %. Pada hasil dendogram untuk similaritas SJ menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Pada dendogram SJ strain A dan B menyatu terlebih dahulu pada similaritas 45,8 %, selanjutnya keduanya baru menyatu dengan strain D pada similaritas 38,15 %. Ketiga strain tersebut menyatu dengan strain C pada similaritas 33,3 % dan keempat strain akan menyatu dengan strain E pada similaritas 27,8 %. Kelima strain bergabung pada similaritas yang sama yaitu 27,8 %. Dari hasil tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kelima strain bakteri yang diuji merupakan lima spesies yang berbeda, karena memiliki tingkat kemiripan yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat similaritas antar strain yang tidak mencapai nilai 70 %.

Hasil perhitungan SSM dan SJ hanya mendekati kebenaran, hal ini karena terdapat kemungkinan bahwa pada saat melakukan pengamatan karakter diperoleh data yang tidak akurat dikarenakan adanya ketidaktelitian atau ketidakakuratan dalam pengamatan ataupun memang karena batasan untuk memberikan nilai positif atau negative pada suatu karakter untuk suatu strain bakteri sangatlah tipis dan hanya mengandalkan pengamatan visual saja, sehingga kemungkinan terdapat kekeliruan dalam memutuskan sifat positif atau negative dari karakter yang diamati. Perbedaan perhitungan SSM dan SJ dari awal hingga akhir ini menunjukkan bahwa sifat double negative, memberikan efek besar pada keseluruhan metode taksonomi numerik fenetik. Hal ini karena sifat double negative tersebut dianggap membingungkan karena karakter menjadi tidak pasti hasilnya, yang kemudian dapat mengacaukan hasil klasifikasi bila digunakan untuk perhitungan indeks similaritas. Percobaan menggunakan taksonomi numerik fenetik maka kekerabatan tidak dapat disimpulkan dari nilai indeks similaritas. Nilai indeks similaritas yang tinggi belum tentu strain-strain tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Metode Jaccard Coefficient (SJ) dianggap lebih cocok digunakan karena mayoritas karakter yang digunakan dalam klasifikasi bakteri dengan metode taksonomi numerik fenetik adalah sifat double negative.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. V.                KESIMPULAN

 

Sistematika mikroba merupakan ilmu yang mempelajari keanekaragaman mikroba dan hubungan antara sesamanya, baik hubungan yang bersifat kemiripan (fenetik) maupun yang bersifat kekerabatan (filogenetis). Klasifikasi merupakan suatu alat atau cara untuk mengelompokkan organisme ke dalam suatu kelompok (takson) berdasarkan hubungan kemiripan maupun kekerabatan. Identifikasi adalah proses dan hasil penentuan benar tidaknya suatu strain yang diteliti merupakan anggota takson yang sudah dikenal sebelumnya atau merupakan proses dan hasil penentuan apakah suatu organisme yang belum dikenal merupakan anggota kelompok yang sudah diketahui sebelumnya atau bukan.

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa pada klasifikasi menggunakan koefisien indeks similaritas SSM, kelima strain bakteri yang digunakan dalam uji termasuk ke dalam satu spesies karena memiliki tingkat kesamaan lebih dari 70 % yaitu 79,7 %. Sedangkan pada klasifikasi menggunakan koefisien indeks similaritas SJ, kelima strain bakteri merupakan spesies yang berbeda-beda karena tingkat kesamaan antara kelima strain bakteri tersebut kurang dari 70 % yaitu 27,8 %. Dengan kata lain hasil yang diperoleh dari metode SSM adalah kelima strain bakteri tersebut merupakan satu spesies, sedangkan pada metode SJ diperoleh lima spesies. Metode Jaccard Coefficient (SJ) dianggap lebih cocok digunakan karena mayoritas karakter yang dianggap mengganggu yang digunakan dalam klasifikasi bakteri dengan metode taksonomi numerik fenetik adalah sifat double negative.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim. 2011. Laporan Praktikum Sistematika Mikrobia, Karakterisasi dan Klasifikasi Bakteri dengan Metode Taksonomi Numerik-Fenetik. http://knottymind.blogspot.com/2011/11/sistematika-mikrobia-bakteri.html [diakses tanggal 28 November 2012].

Boone, R.D, and Castenholz, W.R. 2001. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. 2nd ed. Voll springer-Verlag. New York.

Frobisher, M. 1962. Fundamental of Microbiology. 6th Edition. W.B. Saunders Company. London, pp. 243-251.

Pelzar, M. J. and E. C. S. Chan 1993. Dasar – Dasar Mikrobiologi 1. Pent. Ratna Siri Hadioetomo, dkk. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Pelzar, M. J., E. C. S. Chan and N. R. Krieg. 1993. Microbiology. 5th Edition. Tata McGraw-Hill. New Delhi, pp. 37-39, 41-41.

Ramadaningrum, Winda Adipuri. 2008. Laporan Praktikum Sistematika Mikrobia, Karakterisasi dan Klasifikasi Bakteri dengan Metode Taksonomi Numerik-Fenetik. http://www.scribd.com/doc/51297292/laporan-sismik-winda [diakses tanggal 27 November 2012].

Saulia, S.B, and S. Shantharam. 1997. General Microbiology. Science Pub Inc. USA, pp. 22-23.

Sembiring, L. 2003. Petunjuk Praktikum Sistematika Mikrobia Laboratorium Mikrobiologi, UGM, Yogyakarta, hal. 1-6.

Laporan Praktikum Sistematika Mikroba

  1.                    PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

Jamur atau fungi merupakan bagian dari studi mikrobiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang mikroba. Mikroorganisme memiliki cakupan yang sangat luas dan terdiri dari berbagai macam kelompok dan jenis, sehingga diperlukan suatu usaha atau cara pengelompokan dan pengklasifikasian (Sembiring, 2003).

Sistematika mikroba merupakan ilmu yang mempelajari keanekaragaman mikroba dan hubungan antara sesamanya, baik hubungan yang bersifat kemiripan (fenetik) maupun yang bersifat kekerabatan (filogenetis). Cakupan kajian dalam sistematika meliputi klasifikasi, tata nama, dan identifikasi. Klasifikasi merupakan suatu alat atau cara untuk mengelompokkan organisme ke dalam suatu kelompok (takson) berdasarkan hubungan kemiripan maupun kekerabatan. Identifikasi adalah proses dan hasil penentuan benar tidaknya suatu strain yang diteliti merupakan anggota takson yang sudah dikenal sebelumnya atau merupakan proses dan hasil penentuan apakah suatu organisme yang belum dikenal merupakan anggota kelompok yang sudah diketahui sebelumnya atau bukan. Identifikasi merupakan aplikasi dari klasifikasi dan tatanama terhadap strain sampel. Sedangkan tatanama adalah cara pemberian nama ilmiah kepada makhluk hidup berdasarkan kode tatanama. Untuk dapat mengidentifikasi dan mengkasifikasi suatu mikroorganisme, maka kita harus mempelajari karakteristik mikroorganisme tersebut terlebih dahulu (pelczar et al., 1993).

Prosedur dalam melakukan identifikasi, yaitu pertama kita harus menentukan apakah suatu organisme yang belum dikenal termasuk dalam kelompok besar dari suatu mikroorganisme atau tidak; kedua yang harus dilakukan adalah memurnikan kultur dari mikroorganisme tersebut; ketiga yaitu menentukan tipe pertumbuhan dari organisme tersebut; keempat adalah mempelajari kultur murni tersebut (Frobisher, 1962).

Terdapat tiga cara klasifikasi yaitu klasifikasi artifisial, klasifikasi fenetik, dan klasifikasi filogenik. Salah satu penerapan klasifikasi fenetik adalah pada taksonomi numerik (numerical taxonomy) (Boone and Castenholz, 2001). Taksonomi numerik digunakan untuk memperoleh suatu klasifikasi yang bersifat lebih teliti, reproducible, dan padat informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa taksonomi numerik merupakan cara sistem klasifikasi terbaik. Sebab dalam sistem taksonomi ini digunakan sebanyak-banyaknya sifat (minimal 50 sifat) dari setiap organisme yang akan dikelompokkan. Taksonomi numerik merupakan suatu kajian kekerabatan taxa dengan mengaplikasikan nilai similaritas setiap karakter sehingga dapat dibuat tingkat kataegori berdasarkan derajat atau indeks similaritas. Sebanyak-banyaknya sifat (minimal 50 sifat) dari organisme yang akan dikelompokkan kemudian dicari indeks similaritas (IS) dari satu organisme terhadap organisme lain dalam daftar organisme yang akan dikelompokkan (disebut OTUs). Menurut Waluyo (2005) sifat karakteristik secara makroskopis dan mikroskopis pada jamur dapat digunakan sebagai dasar identifikasi dan klasifikasi. Pengamatan karakter makroskopis jamur meliputi warna permukaan dan sebalik koloni (reverse side), bentuk koloni, bentuk permukaan koloni, elevasi koloni, pinggir koloni, lingkaran konsentris, garis-garis radial dari pusat koloni kearah tepi koloni, dan ukuran diameter koloni. Pengamatan karakter mikroskopis jamur meliputi pengamatan hifa (warna dan bentuk-bentuk khusus), spora seksual, spora aseksual, sel, dasar badan buah serta pendukung badan buah (Sulia and Shantharam, 1998).

Oleh sebab itu, kami melakukan praktikum sistematika mikroba tentang taksonomi numerik-fenetik untuk mengklasifikasi jamur. 

1.2. Tujuan

Memperkenalkan prosedur taksonomi numerik-fenetik dalam klasifikasi jamur

  1. II.                TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan dan penyusunan organisme dalam satu golongan yang disebut taxa. Hal ini dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu sebagai pembeda yang digunakan dalam penggolongan organisme. Dalam taksonomi organisme terdiri dari tiga bagian, yaitu nomenklatur, klasifikasi, dan identifikasi. Nemenklatur adalah kegiatan pemberian nama, sedangkan identifikasi berarti penetapan organisme menggunakan kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam klasifikasi. Klasifikasi adalah tahap pengelompokkan suatu mikrobia berdasarkan sifat-sifat beda. Sistematika mikroba memiliki cara khusus untuk memetakan keanekaragaman spesies makhluk mikrobia dalam hal klasifikasi (Alcamo, 1984).

Sistematika mikrobia merupakan ilmu yang mempelajari keanekaragaman mikrobia (seperti jamur) dan hubungan antar sesamanya, baik hubungan yang bersifat kemiripan (fenetik) maupun yang bersifat kekerabatan (filogenetis). Cakupan kajian dalam sistematika meliputi klasifikasi, tata nama, dan identifikasi. Klasifikasi merupakan suatu alat untuk mengelompokkan organisme ke dalam suatu kelompok atau takson berdasarkan hubungan kemiripan ataupun kekerabatan.  Identifikasi adalah proses dan hasil penentuan apakah suatu organisme yang belum dikenal merupakan anggota kelompok yang sudah diketahui sebelumnya atau bukan. Sedangkan tata nama merupakan cara pemberian nama ilmiah kepada makhluk hidup berdasarkan kode tata nama. Untuk dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi mikroorganisme, pertama-tama kita harus memperlajari karakteristik mikroorganisme tersebut (Pelczar et al., 1993).

Taksonomi merupakan suatu langkah dalam pengelompokkan jasad hidup di dalam suatu kelompok atau takson yang sesuai. Pada awalnya pengelompokkan ini hanya dilakukan dalam lingkungan tumbuh-tumbuhan dan hewan, namun ternyata bahwa untuk mikrobapun dapat digunakan. Dari segi mikrobiologi sendiri, dunia mikroba terbagi menjadi dua kelompok besar, dimana pembagian ini berdasarkan kepada ada tidaknya inti, baik yang sudah terdiferensiasi ataupun yang belum, yaitu penyusunan urutan DNA telah menjadi prosedur rutin di laboratorium dan perbandingan susunan DNA diantara beragam gen yang mada dapat menggambarkan hubungan perbedaan susunan DNA diantara gen-gen yang tersebar secara cepat, sehingga dapat digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan masing-masing individu (Ramadaningrum, 2008).

Prosedur dalam identifikasi, yaitu pertama-tama kita harus menentukan apakah suatu organisme yang belum dikenal termasuk dalam kelompok besar dari mikroorganisme atau tidak; kedua yang harus dilakukan adalah memurnikan kultur dari mikroorganisme tersebut; ketiga adalah menentukan tipe pertumbuhan dari organisme tersebut; keempat adalah mempelajari kultur murni tersebut (Frobisher, 1962). Dalam klasifikasi mikrobia terdapat tiga macam cara yaitu klasifikasi artificial, klasifikasi fenetik, dan klasifikasi filogenik. Contoh penerapan klasifikasi fenetik adalah pada taksonomi numeric (numerical taxonomy) (Boone and Castenholz, 2001).

Taksonomi numeric merupakan suatu kajian kekerabatan taxa dengan mengaplikasikan nilai similaritas setiap karakter sehingga terdapat tingkatan kategori berdasarkan indeks similaritas. Sistem taksonomi ini digunakan sebanyak-banyaknya sifat (minimal 50 sifat) kemudian dicari indeks similaritas (IS) dari mikroba yang akan dikelompokkan (disebut OTUs). Ada dua macam Koefisien Asosisi yaitu Simple Matching Coefisient (SSM) dan Jaccard Coeficient (SJ). Pada SSM semua sifat yang ada dilihat dan digunakan. Sedangakan pada SJ tidak memperhatikan sifat yang sama-sama tidak dimiliki (negative). Kemudian dari matriks IS tersebut, akan diperoleh dendogram. Metode yang umum dalam pembuatan dendogram adalah sverage linkage clustering (UPGMA : unwieghted pair-group method using arithmetic averages) yaitu suatu metode pengklasteran akan menggabung ke klaster tertentu pada suatu nilai yang dihitung tersendiri, yaitu rerata nilai-nilai IS (anonim, 2011).

Jamur merupakan kelompok organisme eukariot karena sel-selnya telah memiliki membran sel inti, dan merupakan organisme yang tidak memiliki klorofil sehingga tidak dapat melakukan fotosintesis (heterotrof), yang memperoleh zat-zat makanan (nutrisi)  dengan cara menyerap serat-serat sederhana dari lingkungan substratnya. Dinding sel jamur terbuat dari bahan kitin, yaitu polimer karbohidrat yang juga terdapat pada eksoskeleton serangga, laba-laba, dan artropoda lainnya. Bahan kitin tersebut berfungsi memberi bentuk dan menyokong sel-sel jamur. Sebagian besar jamur (fungi) merupakan organisme bersel banyak (multiseluler), contohnya adalah jamur merah (Volvariella volcaceae), tetapi ada juga  jamur yang merupakan organisme bersel tunggal (uniseluler) contohnya adalah  yeast atau ragi ( Saccharomyces). Tubuh jamur yang bersel banyak tersusun atas benang-benang yang disebut hifa. Hifa pada jamur, yaitu hifa bersekat (bersepta) dan hifa tidak bersekat. Pada hifa yang bersekat, di setiap sekat terdapat satu inti sel, sedangkan pada figa yang tidak bersekat, inti sel tersebar di dalam sitoplasma (senositik). Sekumpulan hifa akan membentuk anyaman yang disebut miselium,yang berfungsi menyerap zat-zat organic pada substrat atau medium. Bagian yang terletak antara kumpulan hifa dinamakan stolon. Jamur yang bersifat parasit memiliki houstorium, yaitu hifa khusus yang langsung menyerap makanan pada sel inangnya. Reproduksi ada yang secara vegetatif (aseksual) dan ada yang secara generatif (seksual). Secara aseksual dengan spora, tunas, konidia, maupun fragmentasi. Secara seksual denan konjugasi membentuk zygospora, askospora, dan basidiospora. Memiliki keturunan diploid yang singkat (berumur pendek). Habitat di tempat lembab, mengandung zat organic, sedikit asam, dan kurang cahaya matahari (Aslam, 2012).

Ciri – ciri jamur:

  1. Ukuran dan Bentuk Tubuh

Jamur ada yang uniseluler dan ada yang multi seluler. Namun sebagian besar jamur merupakan organisme multiseluler. Jamur uniseluler berukuran mikroskopis, contohnya Saccharomyces cerevisiae. Jamur multi seluler ada yang berukuran mikroskopis dan ada yang berukuran makroskopis, contohnya Volvariella volvacea dan jamur kayu yang merupakan jamur multiseluler yang membentuk tubuh buah yang ukurannya dapat mencapai satu meter.

Bentuk tubuh jamur bervariasi, dari yang berbentuk oval pada jamur uniseluler sampai yang berbentuk benang untuk membentuk tubuh buah pada jamur multiseluler. Jamur yang berupa benang membentuk lapisan seperti kapas, bercak, atau embun tepung (mildew) pada permuakaan substrat tempat hidupnya, misalnya pada buah dan makanan. Tubuh buah jamur memiliki bentuk yang beragam antara lain seperti mangkuk, paying, setengah lingkaran, kuping, atau bulat. Tubuh buah ada yang muncul dia atas tanah dan ada yang berada di dalam tanah. Tubuh buah jamur tersebut berukuran makroskopik. Jamur biasanya hidup pada tempat-tempat yang lembab.

  1. Struktur dan Fungsi Tubuh

Jamur adalah organisme eukariot dengan dinding sel yang tersusun dari kitin. Jamur tidak memiliki klorofil untuk melakukan fotosintesis. Beberapa jenis jamur memiliki warna, contohnya Amanita muscaria memiliki tubuh buah berwarna merah. Jamur multiseluler memiliki sel-sel memanjang berupa benang-benang yang disebut hifa (jamak: hifae). Hifa pada jenis jamur tertentu memiliki sekat antar sel yang disebut septum (jamak: septa). Septa memiliki celah sehingga sitoplasma antara sel yang satu dengan sel yang lainnya dapat saling berhubungan. Jenis jamur yang lain, hifanya tidak memiliki septa sehingga seluruh tubuh jamur tersebut merupakan hifa panjang dengan banyak inti. Hifa tanpa septa disebut hifa senositik. Struktur hifa senositik dihasilkan oleh pembelahan inti sel berkali-kali yang tidak diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Adanya septa merupakan salah satu dasar klasifikasi jamur.

Hifa jamur bercabang-cabang dan berjalin membentuk miselium (jamak: miselia). Sebagian miselium ada yang berfungasi untuk menyerap makanan. Miselium untuk menyerap makanan disebut miselium vegetatif. Miselium vegetatif pada jamur tertentu memiliki struktur hifa yang disebut houstorium. Houstorium dapat menembus sel inangnya dan merupakan organ penyerap makanan dari substrat/inang. Bagian miselium juga ada yang berdiferensiasi membentuk alat reproduksi yang menghasilkan spora, yang disebut miselium generatif. Miselium tersebut menyusun jalinan-jalinan semu menjadi tubuh buah.

  1. Reproduksi

Reproduksi jamur dapat secara seksual (generatif) dan aseksual (vegetatif). Secara aseksual jamur menghasilkan spora dan secara seksual melalui kontak gametangium dan konjugasi.

Pengamatan karakter makroskopis jamur meliputi warna permukaan dan sebalik koloni (reverse side), bentuk koloni, bentuk permukaan koloni, elevasi koloni, pinggir koloni, lingkaran konsentris, garis-garis radial dari pusat koloni kearah tepi koloni, dan ukuran diameter koloni. Pengamatan karakter mikroskopis jamur meliputi pengamatan hifa (warna dan bentuk-bentuk khusus), spora seksual, spora aseksual, sel, dasar badan buah serta pendukung badan buah (Sulia and Shantharam, 1998).  

  1. III.             METODE

 

3.1. Alat dan Bahan

  1. A.    Morfologi Koloni Jamur ( Pengamatan Makroskopis )

Alat yang digunakan adalah jarum ose yang ujungnya berbentuk huruf L, lampu spiritus, rak tabung reaksi, tabung reaksi, kaca pembesar, cawan petri dan cawan penutup (petri disc).

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain jamur, medium PDA (Potato Dextrosa Agar) pada cawan petri, dan alkohol.

  1. B.     Morfologi Koloni Jamur ( Pengamatan Mikroskopis )

Alat yang digunakan adalah glass objek, cover glass, jarum ose yang ujungnya berbentuk huruf L, mikroskop, tissue / kertas saring, lampu spiritus, glass objek, cover glass, tusuk gigi (batang penyangga), cawan petri dan cawan penutup (petri disc), tabung reaksi, rak tabung reaksi,  dan pipet tetes.

Bahan yang digunakan adalah 5 isolat/strain jamur, medium PDA cair, akuades steril, alkohol, dan akuades.

3.2. Cara Kerja

  1. Morfologi Koloni  Jamur (Pengamatan Makroskopis)
    1. Disiapkan alat dan bahan serta area kerja dibersihkan/disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
    2. Diambil isolat A dengan menggunakan jarum ose yang telah diberi alkohol dan dibakar, dengan posisi mendatar secara aseptis.
    3. Isolat yang diperoleh lalu ditotolkan ke dalam cawan petri yang telah berisi medium PDA secara aseptis.
    4. Diinkubasi selama 5-7 hari.
    5. Diamati morfologi koloni jamur yang terbentuk.
    6. Diamati morfologi makroskopis jamur, yaitu bentuk koloni, bentuk permukaan koloni, elevasi, pinggiran koloni, ada tidaknya lingkaran-lingkaran konsentris, garis radial dan diameter koloni.
    7. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.
    8. Morfologi Koloni Jamur ( Pengamatan Mikroskopis )
      1. Disiapkan alat dan bahan serta area kerja dibersihkan/disterilkan menggunakan wipol dan lampu spiritus dinyalakan.
      2. Dikeluarkan semua glass objek dari cawan petri secara aseptis dan diusahakan tetap berada didekat nyala api lampu spiritus agar tetap steril.
      3. Diteteskan medium PDA cair diatas masing-masing glass objek menggunakan pipet tetes secara aseptis.
      4. Didiamkan beberapa saat hingga medium PDA tersebut memadat.
      5. Dipotong medium PDA yang telah memadat tersebut membentuk persegi dengan menggunakan cover glass yang telah disterilkan dengan alkohol sebelumnya.
      6. Diambil isolat A menggunakan ose secara aseptis.
      7. Diinokulasikan isolat yang terdapat pada ose berbentuk huruf L tersebut pada 4 sisi bagian tepi dari medium PDA secara aseptis.
      8. Ditutup medium PDA yang telah diinokulasikan dengan isolat jamur dengan cover glass yang telah disterilakan sebelumnya secara aseptis.
      9. Diteteskan akuades steril pada kertas saring (tissue) yang berada di dalam cawan petri menggunakan pipet tetes hingga/agar lembab secara aseptis.
      10. Dimasukkan masing-masing glass objek yang telah ditutup dengan cover glass ke dalam masing-masing cawan petri yang telah berisi kertas saring lembab diatas kedua batang penyangga (tusuk gigi) agar tetap setimbang secara aseptis.
      11. Diinkubasi selama 3-7 hari.
      12. Diamati morfologi koloni jamur secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop.
      13. Dilakukan langkah yang sama untuk isolat B – E.
  1. IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN

 

4.1. Hasil

Tabel 1. Tabulasi Hasil Pengamatan Jamur Kelompok 6B – 10B

(Lab. Genetika)

No

Unit Karakter (n)

Operational Taxonomi Unit OTU (t)

A

B

C

D

E

1

MAKROSKOPIS

 

 

 

 

 

 

a. Bentuk koloni

 

 

 

 

 

 

1. circular

+

 

2. irregular

+

 

3. filamentous

+

+

+

 

4. rhizoid

 

5. spindle

 

b. Elevasi

 

 

 

 

 

 

6. raised

+

+

+

 

7. convex

 

8. flat

+

+

 

9. umbonate

 

10. crateriform

 

c. Tepian

 

 

 

 

 

 

11. entire

+

 

12. undulate

+

 

13. filiform

+

+

+

 

14. curled

 

15. lobate

 

d. Warna Permukaan  koloni

 

 

 

 

 

 

Bagian Atas

         

 

16. putih susu

+

 

17. hijau

+

 

18. putih

+

 

19. abu – abu

+

 

20. hitam

+

 

Bagian Bawah

         
 

21. putih kekuningan

+

+

 

22. coklat

+

 

23. cream

+

 

24. putih

+

 

e. Lingkaran Konsentris

 

 

 

 

 

 

25. ada

+

 

26. tidak ada

+

+

+

+

 

f. Garis Radial

         
 

27. ada

+

+

 

28. tidak ada

+

+

+

 

g. Tetes Eksudat

 

 

 

 

 

 

29. ada

+

+

 

30. tidak ada

+

+

+

 

h. Ukuran Koloni

         

 

31. small

+

 

32. medium

+

 

33. large

+

+

+

 

i. Kekompakan Koloni

 

 

 

 

 

 

34. padat

+

+

+

+

 

35. sedang

+

 

36. longgar

2 

MIKROSKOPIS

 

 

 

 

 

 

j. Bentuk Spora

 

 

 

 

 

 

37. bulat

+

+

+

+

 

38. semi bulat

+

 

39. silindris

 

40. oval

 

41. elips

 

42. fusiform

 

k. Tipe Spora Aseksual

 

 

 

 

 

 

43. blastospora

 

44. sporangiospora

+

 

45. konidiospora

+

+

+

+

 

46. arthospora

 

47. klamidiospora

 

l. Karakter Tambahan

 

 

 

 

 

 

48. sel kaki

+

 

49. rhizoid

+

 

50. stolon

+

 

51. vesikel

+

 

52. apovisa / vialit

+

+

 

m. Tipe Hifa

 

 

 

 

 

 

53. bersekat

+

+

+

 

54. tidak bersekat

+

+

 

n. Pigmentasi Hifa

 

 

 

 

 

 

55. hyaline

+

+

+

 

56. gelap

+

+

 

o. Tangkai Buah

 

 

 

 

 

 

57. sporangiospora

+

+

+

+

 

58. konidiospora

+

Keterangan :        A : Penicillium                   B : Yeast                       C : Trichordema

                            D : Aspergilus                    E : Rhizopus

 

 

AB : a = 5, b = 11, c = 11, d = 31                                           BC : a = 7, b = 9, c = 9, d = 33

AC : a = 8, b = 8, c = 8, d = 34                                               BD : a = 6, b = 10, c = 10, d = 32

AD : a = 2, b = 13, c = 14, d = 28                                           BE : a = 3, b = 13, c = 14, d = 28

AE : a = 5, b = 11, c = 12, d = 30                                            CD : a = 8, b = 8, c = 8, d = 34

CE : a = 9, b = 7, c = 8, d = 34                                                DE : a = 8, b = 8, c = 9, d = 33

Berdasarkan tabel di atas, kemudian dicari indeks similaritasnya berdasarkan rumus berikut:

  1. SSM =

Keterangan: a = ++ ; b = +- ; c = -+ dan d = —

AB =  = 62,06 %                             CD =  = 72,41 %

AC =  = 58,62 %                             CE =  = 74,13 %

AD =  = 51,72 %                             DE =  = 70,68 %

AE =  = 60,34 %                             BC =  = 68,96 %

BD =  = 65,51 %                             BE =  = 53,44 %

Matriks Similaritas SSM

%

A

B

C

D

E

A

100

 

 

 

 

B

62,06

100

 

 

 

C

58,62

68,96

100

 

 

D

51,72

65,51

72,41

100

 

E

60,34

53,44

74,13

70,68

100

Clustering Analysis SSM

Sim (%)

Strain Mikroba / Jamur (OTU)

100

A

B

C

E

D

74,13

A

B

(C,E)

D

72,3

A

B

[(C,E), D]

62,6

A

{ B,[ (C,E), D ] }

58,52

(A { B,[ (C,E), D ] } )

Konstruksi Dendogram SSM                             OTU

 
   

                                                                                                                                    A

                                                                                                                                    B

                                                                                                                                    C

                                                                                                                                    E

                                                                                                                                    D

 
   

                                             58,25          62,6       70   72,3     74               100

Keterangan : Terdapat 3 spesies, yaitu Strain A, Strain B, dan Strain (C,E,D)

  1. SJ =

Keterangan : a = ++ ; b = +- dan c = -+

AB =  = 18,51 %                             CD =  = 33,3 %

AC =  = 33,3 %                               CE =  = 37,5 %           

AD =  = 6,67 %                               DE =  = 32 %

AE =  = 17,85 %                             BC =  = 28 %

BD =  = 23,07 %                             BE =  = 10 %

Matriks Similaritas SJ

%

A

B

C

D

E

A

100

 

 

 

 

B

18,51

100

 

 

 

C

33,3

28

100

 

 

D

6,66

23,07

33,3

100

 

E

17,85

10

37,5

32

100

Clustering Analysis SJ

Sim (%)

Strain Mikroba (OTU)

100

A

B

C

E

D

90

A

B

C

E

D

38

A

B

(C,E)

 

34,3

A

B

[(C,E), D]

20,3

A

{B, [(C,E), D]}

19,21

(A {B, [(C,E), D]} )

Konstruksi Dendogram SJ                                                OTU

                                                                                                                                    A

                                                                                                                                    B

                                                                                                                                    C

                                                                                                                                    E

                                                                                                                                    D

 
   

          19,25          20,3              34,3           38                   70                    100

Keterangan : Terdapat 5 spesies, yaitu Strain A, B, C, D, dan E.

4.2. Pembahasan

Pada praktikum kali ini, dilakukan karakterisasi dan identifikasi terhadap lima strain/isolat jamur yaitu A (Penicillium), B (Yeast), C (Trichoderma), D (Aspergilus) dan E (Rhizopus) yang belum diketahui sebelumnya, dengan menggunakan berbagai karakter uji yang meliputi sifat morfologi, baik koloni maupun sel, pengujian mikroskopis dan makroskopis. Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk numerik dengan memberikan nilai positif atau negatif. Dalam prosedur taksonomi numerik, hanya data numerik yang dapat diolah untuk memperoleh hasil klasifikasi yang diharapkan.

Pada pengamatan makroskopis jamur diperoleh bentuk koloni, elevasi, tepian, warna permukaan koloni bagian atas, warna permukaan koloni bagian bawah, ada tidaknya lingkaran konsentris, ada tidaknya garis radial, ada tidaknya tetes eksudat, ukuran koloni, dan kekompakan koloni jamur. Sedangkan pada pengamatan mikroskopis jamur yang diamati berupa bentuk spora, karakter tambahan (seperti vesikel, sel kaki, stolon, rhizoid, apovis), tipe hifa, pigmentasi hifa, tipe spora aseksual, dan tipe tangkai buah.

Jumlah unit karakter yang kami peroleh dan digunakan adalah sebanyak 58 karakter. Jumlah karakter ini telah memenuhi karekter uji minimal yang disyaratkan yaitu  sejumlah 50 karakter. Semakin tinggi nilai similaritas antara kedua strain, maka dapat dikatakan bahwa kedua strain tersebut memiliki banyak kemiripan atau kesamaan, sehingga nilai indeks similaritas antara kedua strain dapat digunakan untuk memasukkan jamur ke dalam suatu kelompok tertentu. Berdasarkan konsep taksospesies, suatu individu termasuk ke dalam jenis spesies yang sama apabila memiliki indeks similaritas ≥ 70%.

Data yang diperoleh dari karakterisasi tersebut dianalisi lebih lanjut untuk mencari Indeks Similaritas (IS) antara kelima strain jamur tersebut. Digunakan dua macam koefisien indeks similaritas yaitu Simple Matching Coeficient (SSM) dan Jaccard Coeficient (SJ). Pada SSM semua sifat baik bernilai double positif, berbeda, maupun double negative digunakan. Sedangkan pada SJ nilai double negative pada kedua strain yang dibandingkan tidak digunakan.

Setelah didapatkan indeks similaritas melalui SSM dan SJ, kemudian dilakukan analisis clustering. Prinsip dari analisis klastering adalah untuk mencari similaritas dengan nilai tinggi yang mengindikasikan pasangan yang paling sama dari OTU  (Operational Taxonomic Unit). Metode yang paling umum digunakan adalah Unwighted Pair Group Method With Averages (UPGMA) atau yang lebih dikenal dengan nama alogaritma average linkage. Untuk menunjukkan hasil analisis klastering, hasil divisualisasikan ke dalam bentuk dendogram. Setelah diperoleh dendogram, kemudian dibuat analisis korelasi kefenetik. Analisis ini bertujuan untuk menunjukkan keeratan hubungan kesamaan (fenetik) antar strain jamur yang diuji. Nilai korelasi kofenetik baik pada SSM dan SJ yang melebihi 60 % menunjukkan bahwa uji yang dilakukan terhadap kelima strain jamur tersebut dapat diterima atau dipercaya, sehingga kelompok yang dibentuk memiliki kedekatan yang dapat diterima.

Dari hasil dendorgam yang kami peroleh terlihat bahwa terdapat perbedaan dalam klasifikasi OTU antara koefisien SSM dan SJ. Pada dendogram SSM strain C dan E menyatu terlebih dahulu pada indeks similaritas 74 %, kemudian keduanya menyatu dengan strain D pada similaritas 72,3 %. Ketiga strain tersebut menyatu dengan strain B pada similaritas 62,6 % dan keempat strain akan menyatu dengan strain A pada similaritas 58,25 %. Kelima strain bergabung pada similaritas yang sama yaitu 58,25 %. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa kelima strain jamur merupakan tiga spesies yang berbeda, dan memiliki tingkat similaritas (indeks similaritas) yang cukup tinggi, sebab tingkat kesamaannya ada yang lebih dari 70 %. Pada hasil dendogram untuk similaritas SJ menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Pada dendogram SJ strain C dan E menyetu terlebih dahulu pada indeks similaritas 38 %, selanjutnya keduanya baru menyatu  dengan strain D pada similaritas 34,3 %. Ketiga strain tersebut menyatu dengan strain B pada similaritas 20,3 % dan keempat strain akan menyatu dengan strain A pada similaritas 19,25 %. Kelima strain bergabung pada similaritas yang sama yaitu 19,25 %. Dari hasil tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kelima strain jamur yang diuji merupakan lima spesies yang berbeda karena memiliki tingkat kemiripan yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat similaritas antar strain jamur yang tidak mencapai nilai 70 %. Menurut Priest, F & Goodfellow (1999), konsep satu spesies yang berada pada level ≥ 70 % berdasarkan taxo-species concept, yaitu jika spesies yang beranggotakan strain – strain jamur tersebut memiliki kemiripan atau indeks similaritas ≥ 70 %.

Hasil perhitungan SSM dan SJ hanya mendekati kebenaran, hal ini karena terdapat kemungkinan bahwa pada saat melakukan pengamatan karakter diperoleh data yang tidak akurat dikarenakan adanya ketidaktelitian atau ketidakakuratan dalam pengamatan ataupun memang karena batasan untuk memberikan nilai positif atau negative pada suatu karakter untuk suatu strain bakteri sangatlah tipis dan hanya mengandalkan pengamatan visual saja, sehingga kemungkinan terdapat kekeliruan dalam memutuskan sifat positif atau negative dari karakter yang diamati. Perbedaan perhitungan SSM dan SJ dari awal hingga akhir ini menunjukkan bahwa sifat double negative, memberikan efek besar pada keseluruhan metode taksonomi numerik fenetik. Hal ini karena sifat double negative tersebut dianggap membingungkan karena karakter menjadi tidak pasti hasilnya, yang kemudian dapat mengacaukan hasil klasifikasi bila digunakan untuk perhitungan indeks similaritas. Percobaan menggunakan taksonomi numerik fenetik maka kekerabatan tidak dapat disimpulkan dari nilai indeks similaritas. Nilai indeks similaritas yang tinggi belum tentu strain-strain tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Metode Jaccard Coefficient (SJ) dianggap lebih cocok digunakan karena mayoritas karakter yang digunakan dalam klasifikasi jamur dengan metode taksonomi numerik fenetik adalah sifat double negative.

Indeks similaritas SSM dan SJ memiliki perbedaan dalam penggunaan sifat, sehingga dapat mempengaruhi keakuratan hasil klasifikasi yang diperoleh serta keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Indeks similaritas SSM memiliki kelebihan yaitu kemudahan menghitung nilai pembagi dalam pecahan karena nilai pembaginya adalah sebanyak karakter yang digunakan sehingga lebih praktis jika dilakukan perhitungan secara manual. Namun kekurangannya adalah kurang akurat, sebab sifat yang double negative juga dihitung. Sedangkan sifat tersebut adalah sifat yang ‘sama-sama tidak dimiliki oleh kedua strain yang dibandingkan’, sehingga hubungan antara keduanya menjadi tidak jelas. Berbeda dengan indeks similaritas SJ, yang memiliki kekurangan dalam menentukan nilai pembaginya kerena dihitung dari karakter yang double positive, positif-negatif, dan negatif-positif. Tiap dua strain yang diperbandingkan akan menghasilkan nilai pembagi yang berbeda, dan untuk penghitungan secara manual akan menyulitkan prosesnya. Kelebihan dari indeks similaritas SJ adalah lebih akurat karena hubungan sifat double negative tidak digunakan sehingga menghindari sifat yang ‘sama-sama tidak dimiliki oleh kedua strain yang dibandingkan’, sehngga hubungan dua strain yang dibandingkan menjadi lebih jelas.

  1. V.                KESIMPULAN

 

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa pada klasifikasi menggunakan koefisien indeks similaritas SSM, kelima strain jamur yang digunakan dalam uji termasuk ke dalam tiga spesies karena ada yang memiliki tingkat kesamaan lebih dari 70 %, yaitu strain C dan E dengan indeks similaritas 74 %, serta keduanya bergabung dengan strain D dengan indeks similaritas 72,3 %. Sedangkan pada klasifikasi menggunakan koefisien indeks similaritas SJ, kelima strain jamur merupakan spesies yang berbeda-beda karena tingkat kesamaan antara kelima strain jamur tersebut rendah atau kurang dari 70 % yaitu 19,25 %. Dengan kata lain hasil yang diperoleh dari metode SSM adalah kelima strain jamur tersebut merupakan tiga spesies, sedangkan pada metode SJ diperoleh lima spesies. Metode Jaccard Coefficient (SJ) dianggap lebih cocok digunakan karena mayoritas karakter yang dianggap mengganggu yang digunakan dalam klasifikasi jamur dengan metode taksonomi numerik fenetik adalah sifat double negative.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alcamo, I.E. 1984. Fundamental of Microbiology. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Menlo Park, CA. pp : 117-120.

Anonim. 2011. Laporan Praktikum Sistematika Mikrobia, Karakterisasi dan Klasifikasi Bakteri dengan Metode Taksonomi Numerik-Fenetik. http://knottymind.blogspot.com/2011/11/sistematika-mikrobia-bakteri.html [diakses tanggal 28 November 2012].

Aslam. 2012. Ciri dan Klasifikasi Jamur. http://aslam02.wordpress.com/materi/biologi-kelas-x/fungi/ciri-dan-klasifikasi-jamur/ [ diakses tanggal 14 Desember 2012].

Boone, R.D, and Castenholz, W.R. 2001. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. 2nd ed. Voll springer-Verlag. New York.

Frobisher, M. 1962. Fundamental of Microbiology. 6th Edition. W.B. Saunders Company. London, pp. 243-251.

Pelzar, M. J. and E. C. S. Chan 1993. Dasar – Dasar Mikrobiologi 1. Pent. Ratna Siri Hadioetomo, dkk. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Pelzar, M. J., E. C. S. Chan and N. R. Krieg. 1993. Microbiology. 5th Edition. Tata McGraw-Hill. New Delhi, pp. 37-39, 41-41.

Priest, Fegus & Goodfellow. 1999. Applied Microbal Systematic. Kluwer Chapman & Hall. London. Pp : 33, 47, 98.

Ramadaningrum, Winda Adipuri. 2008. Laporan Praktikum Sistematika Mikrobia, Karakterisasi dan Klasifikasi Bakteri dengan Metode Taksonomi Numerik-Fenetik. http://www.scribd.com/doc/51297292/laporan-sismik-winda [diakses tanggal 27 November 2012].

Saulia, S.B, and S. Shantharam. 1997. General Microbiology. Science Pub Inc. USA, pp. 22-23.

Sembiring, L. 2003. Petunjuk Praktikum Sistematika Mikrobia Laboratorium Mikrobiologi, UGM, Yogyakarta, hal. 1-6.

LAMPIRAN

 

       
 

Permukaan bawah koloni

 

   

Permukaan atas koloni

 

 
 
 

Penicillium

 

 
 

Yeast

 

 
 

Aspergillus

 

 
 

Trichoderma

 

 
 

Rhizopus

 

PENGARUH FAKTOR EDAFIK TERHADAP PENYEBARAN TUMBUHAN

Tidak semua wilayah di muka bumi dapat dihuni oleh makhluk hidup. Berdasarkan penelitian diperkirakan hanya sekitar 1/550 bagian saja dari muka bumi yang berpotensi sebagai lingkungan hidup. Hal ini berarti, kehidupan flora dan fauna di suatu wilayah sangat terkait dengan kondisi lingkungannya. Itulah yang menyebabkan persebaran flora dan fauna secara tidak merata di permukaan bumi.

Keberadaan fenomena biosfer merupakan fungsi dari kondisi lingkungan di sekitarnya. Karena kondisi iklim dan tanah di permukaan bumi sangat beragam, maka beragam pula persebaran flora dan fauna. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan flora dan fauna di muka bumi lain adalah faktor klimatik (iklim), edafik (tanah), dan biotic (makhluk hidup).

Faktor-faktor edafik adalah faktor-faktor yang bergantung pada keadaan tanah, kandungan air dan udara di dalamnya. Perbedaan-perbedaan pada tanah sering merupakan penyebab utama terjadinya perubahan vegetasi dalam daerah iklim yang sama. Oleh sebab itu, faktor edafik mempunyai arti yang sangat besar bagi geografi tumbuhan.

Tanah dapat dianggap sebagai bahan lapisan permukaan kerak bumi yang tidak terkonsolidasi, yang terdapat di bawah setiap vegetasi di dalam udara dan serasah yang belum membusuk, dan meluas ke bawah sampai batas yang masih berpengaruh terhadap tumbuhan yang hidup di atas permukaannya. Perkembangan tanah dalam perkembangan vegetasi sangat erat hubungannya satu sama lain, yang keduanya terutama dikendalikan oleh iklim.

Kondisi tanah atau edafik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persebaran makhluk hidup terutama tumbuhan. Tanah merupakan media tumbuh dan berkembangnya tanaman. Tingkat kesuburan tanah merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap persebaran tumbuhan. Adapun yang menjadi parameter kesuburan tanah antara lain kandungan humus atau bahan organik, unsur dan teksur tanah, serta ketersediaan air dalam pori-pori tanah. Ini berarti semakin subur tanah maka kehidupan tumbuhan akan semakin banyak jumlah dan keanekaragamannya. Tanah-tanah yang subur, seperti tanah vulkanis dan andosol merupakan media optimal bagi pertumbuhan tanaman.

Tanah banyak mengandung unsur-unsur kimia yang diperlukan bagi pertumbuhan flora di dunia. Kadar kimiawi berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah. Keadaan struktur tanah berpengaruh terhadap sirkulasi udara di dalam tanah sehingga memungkinkan akar tanaman dapat bernafas dengan baik. Keadaan tekstur tanah berpengaruh pada daya serap tanah terhadap air. Suhu tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan akar serta kondisi air di dalam tanah. Komposisi tanah umumnya terdiri dari bahan mineral anorganik (70%-90%), bahan organik (1%-15%), udara dan air (0-9%). Hal-hal di atas menunjukkan betapa pentingnya faktor tanah bagi pertumbuhan tanaman. Perbedaan jenis tanah menyebabkan perbedaan jenis dan keanekaragaman tumbuhan yang dapat hidup di suatu wilayah.

Faktor edafik atau faktor tanah sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan kebutuhan utama yang menjamin kehidupan tumbuhan berasal dari tanah, seperti unsur hara, air, dan udara. Oleh sebab itu, tingkat kesuburan tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Parameter kesuburan tanah adalah sebagai berikut:

1. Tekstur Tanah (ukuran butiran tanah)

Tekstur tanah adalah perbandingan relatif berbagai partikel tanah dalam suatu massa tanah terutama perbandingan antara pasir, debu dan lempung. Tekstur tanah sangat penting dalam kaitannya dengan kapasitas menampung air dan udara tanah. Tanah dengan proporsi partikel –partikel yang lebih besar dapat mempunyai tata air yang baik. Tanah yang halus biasanya memiliki potidak tersebar merata. Selain itu alirannya juga sangat lambat sehingga tidak menguntungkan bagi tumbuh-tumbuhan.

Tanah-tanah yang butirannya terlalu kasar, seperti kerikil dan pasir kasar, atau yang butirannya terlalu halus, seperti lempung kurang sesuai bagi pertumbuhan vegetasi. Tanah yang baik bagi media pertumbuhan vegetasi adalah tanah dengan komposisi perbandingan butiran pasir, debu, dan lempungnya seimbang. Pasir adalah jenis butiran tanah yang kasar, debu butirannya agak halus, sedangkan lempung merupakan butiran tanah yang sangat halus.

2. Tingkat Kegemburan Tanah

Tanah-tanah yang gembur jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tanah-tanah yang padat. Tanah yang gembur memudahkan akar tumbuhan untuk menembus tanah dan menyerap mineral-mineral yang terkandung dalam tanah. Oleh karena itu, para petani sering membajak tanahnya dengan tujuan agar tanah tetap gembur dan tingkat kesuburan nya dapat tetap terjaga.

3. Mineral Organik

Humus merupakan salah satu mineral organik yang berasal dari jasad renik makhluk hidup yang dapat terurai menjadi tanah yang subur dan sangat diperlukan bagi pertumbuhan suatu vegetasi.

4. Mineral Anorganik (unsur hara)

Mineral anorganik adalah mineral yang berasal dari hasil pelapukan batuan yang terurai dan terkandung di dalam tanah yang dibutuhkan tumbuhan, seperti Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O2), Nitrogen (N), Belerang (S), Posfor (P), dan Kalsium (K).

5. Kandungan Air Tanah

Air yang terdapat di dalam tanah terutama air tanah permukaan dan air tanah dangkal merupakan salah satu unsur pokok bagi per tumbuhan dan perkembangan vegetasi. Air sangat membantu dalam melarutkan dan mengangkut mineral-mineral yang terkandung dalam tanah sehingga mudah diserap oleh sistem perakaran pada tumbuhan.

6. Kandungan Udara Tanah

Kandungan udara di dalam tanah antara tanah di lahan tertentu Dengan lahan lainnya berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena adanya  tingkat kegemburan tanah yang berbeda-beda. Semakin tinggi tingkat kegemburan suatu tanah, semakin besar kandungan udara di dalam tanah. Kandungan udara di dalam tanah diperlukan tum buhan dalam respirasi melalui sistem perakaran pada tumbuhan.

Jenis-Jenis Tanah:

  1. Tanah Humus

Berasal dari hasil pelapukan tumbuh-tumbuhan. Tanah jenis ini umum dijumpai di hutan tropis seperti indonesia. Jenis tanah ini sangat subur. Tanah humus juga dapat digunakan sebagai pupuk

  1. Tanah Pasir

Berasal dari pelapukan batuan. Butirannya masih kasar dan bersifat lepas. Tanah ini kurang baik digunakan untuk pertanian karena sifatnya yang tidak dapat mengikat air.

  1. Tanah Aluvial

Adalah tanah yang berasal dari hasil pengendapan lupur sungai. Umum terdapat di tepi sungai yang memasuki fase tua. Tanah ini sangat subur dan cocok untuk pertanian

  1. Tanah Podzol

Umum dijumpai di daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Suhu udara di daerah tersebut rendah. Tanah jenis ini juga dimanfaatkan untuk pertanian.

  1. Tanah Laterit

Mempunyai cirri-ciri  fisik berwarna merah kekuningan. Sifat tanah ini kurang subur. Hal tersebut dapat terjadi karena unsur-unsur hara yang dikandung tanah hilang terhanyut hujan. Tanah ini dapat dijumpai di kalimantan barat.

  1. Tanah Kapur

Di daerah kaya batuan kapur. Berasal dari hasil pelapukan batu kapur. Sifatnya  kurang subur dan tidak cocok untuk pertanian

  1. Tanah Gambut.

Tanah gambut atau organosol berasal dari pelapukan tumbuhan rawa. Tanah jenis ini juga tidak cocok untuk pertanian.

 

Perbedaan jenis tanah, seperti pasir, alluvial, dan kapur serta jumlah zat mineral yang terkandung dalam humus mempengaruhi jenis tanaman yang tumbuh. Keadaan tekstur tanah berpengaruh pada daya serap tanah terhadap air. Suhu tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan akar serta kondisi air di dalam tanah. Di daerah tropis akan hidup berbagai jenis tumbuhan, sedangkan di daerah gurun atau bersalju hanya akan hidup tumbuhan tertentu. Perbedaan jenis tanah menyebabkan perbedaan jenis dan keanekaragaman tumbuhan yang dapat hidup di suatu wilayah.